Minggu, 26 Januari 2014

indigeneous psychology (psikologi pribumi)



INDIGENEOUS PSYCHOLOGY(psikologi pribumi)

Sekitar beberapa bulan lalu, ketika saya baru pertama kali mendengar istilah Psikologi Pribumi (dalam referensi asing disebut dengan Indigeneous Psychology), saya belum dapat mencerna mengapa harus ada pembahasan terkait indigeneous psychology dalam ranah psikologi konvensional. Jika saya menilik dari Oxford Learner’s Dictionary, indigenous termasuk kata sifat yang berarti belonging naturally to a place; native. Sementara psychology sendiri berarti study of the mind and how it functions. Dalam banyak konferensi psikologi nasional, Indigeneous Psychology sering dipadankan sebagai Psikologi Pribumi.
Description: C:\Users\siti rukmana\Pictures\suku.jpg
Ilustrasi Psikologi Pribumi

Ilmu psikologi yang sekarang dipelajari secara luas oleh akademisi (dosen dan mahasiswa) dan masyarakat umum memang berasal dari dunia barat. Kebanyakan dasar perilaku yang melatarbelakangi sebuah teori juga terjadi dalam konteks barat. Bahkan sebuah paradigma psikologi bisa juga berasal dari konteks kehidupan pribadi sang peramu teori. Sebut saja Sigmund Freud dengan psikoanalisanya. Tentang bagaimana pandangan Freud mengenai Oedipus Complex ataupun Electra Complex yang berdasarkan pengalaman pribadinya. Kemudian ada Alfred Adler dengan Inferiority Complex-nya dan karakteristik kepribadian dilihat dari urutan kelahiran. Atau bahkan Jean Piaget dengan penelitian kognitif jangka panjang dengan anaknya sendiri yang kemudian melahirkan teori kognitif Piaget. Kemunculan teori dari pengalaman pribadi sang peneliti sering terjadi dalam disiplin ilmu apa saja, termasuk psikologi. Dengan kata lain, timbul paradoks antara psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang harus bisa berlaku universal dan perilaku manusia (yang menjadi kajian dalam psikologi) yang justru bersifat sangat individual dan khas.
Sebenarnya pertentangan itulah yang membuat ilmu psikologi menjadi menarik. Psikologi mempelajari perilaku makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna sekaligus paling misterius. Ilmu fisika bisa menjelaskan konsep universal tentang energi dan gerak. Jika Anda mengendarai mobil dari Jakarta ke Bandung, kemudian naik pesawat ke Surabaya, kecepatannya tetap akan dihitung dengan rumus yang sama. Bahkan Fisika dan Kimia bisa saja melakukan prediksi posisi atom (yang amat sangat kecil) dengan mekanika kuantum. Sekalipun Einstein muncul dengan gagasan radikal mengenai relativitas ruang dan waktu, manusia tetap mampu mengendalikan relativitas benda di sekitarnya. Justru ketika hendak mempejari perilaku internal manusia itu sendiri, timbul ke-relativitas-an yang luar biasa. Kemisteriusan perilaku muncul karena manusia adalah makhluk yang berpikir dan bernurani. Oleh karena itu ada peribahasa yang mengatakan bahwa “dalamnya samudera dapat diduga, dalamnya hati manusia siapa yang tahu”.
Lalu mengapa bahasan mengenai Psikologi Pribumi sangat diperlukan? Pertama, perilaku manusia tidak mungkin untuk dilihat dari perspektif yang sama secara mutlak. Contoh sederhana: Psikologi barat memperkenalkan istilah remaja dengan kondisi storm and stress-nya. Tapi tak langsung semua remaja di dunia akan mengalami storm and stress juga. Sang penggagas, G. Stanley Hall, bisa jadi menemukan konsep tersebut dari kondisi anak-anak Amerika Serikat yang beranjak dewasa (diistilahkan dengan “remaja”) pada awal abad ke-20. Globalisasi membuat konsep tersebut seakan terjadi pada semua remaja. Tapi toh kondisi tersebut memang jamak terjadi di kota besar. Remaja yang tinggal di pedesaan mungkin tidak mengalami “siksaan” perubahan dari anak-anak menjadi dewasa. Mereka bisa saja langsung bekerja dan menikah. Tidak seperti remaja di kota yang dituntut untuk belajar dan belajar, padahal secara biologis mereka sudah “tertarik” pada lawan jenis. Jadi memang harus ada sudut pandang “ke-pribumi-an” dalam konsep psikologi.
Alasan kedua adalah globalisasi yang terjadi nyaris di seluruh belahan dunia. Kondisi ini juga menjadi sebuah paradoks. Globalisasi (sebagai turunan kapitalisme) menginginkan penyeragaman pada seluruh sendi kehidupan manusia di dunia. Tapi globalisasi dan teknologi (terutama informasi) justru memberikan celah bagi siapa pun untuk membuat perubahan dan perbedaan secara cepat. Sebagai contoh, semakin banyak komunitas indie yang memiliki fokus pada berbagai hal. Lihat saja mulai dari komunitas distro, musik dan hiburan, buku, hingga politik. Semakin banyak tumbuh mal di kota besar dan semakin banyak usaha mandiri kreatif yang didirikan oleh kaum muda. Atau lihat saja revolusi yang tejadi di Timur Tengah. Globalisasi dan teknologi membuat para pemuda lebih mudah mengerahkan massa dan menyebarkan ide untuk perubahan. Jadi, semakin globalisasi ingin membuat dunia terlihat seragam, justru semakin banyak manusia yang ingin berbeda.
Pembahasan mengenai Psikologi Pribumi di Indonesia juga berkelindan dengan pembahasan mengenai Islamic Indigenous Psychology atau Psikologi Islami. Saya awalnya melihat bahwa mempelajari Psikologi Islami seperti mempelajari metafisika. Pada Psikologi Islami terdapat bahasan-bahasan sepeti astral (jiwa lepas dari tubuh) ataupun clairvoyance (kemampuan mendapatkan informasi secara langsung dari objek tertentu) menjadi hal-hal yang sulit untuk dipahami awam. Saya meyakininya namun hal tersebut sulit untuk dibuktikan secara empiris. Sementara salah satu syarat mutlak agar suatu bahasan bisa menjadi sebuah ilmu adalah prinsip keterukuran (measurable) dan objektif.
saya melihat bahwa konsep “keterukuran” dalam Psikologi Islami bisa terjadi dalam konteks yang sangat individual, apalagi jika dikaitkan dalam hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Misalnya: Shalat adalah sarana bagi seorang muslim untuk bermunajat kepada Sang Khalik sekaligus untuk mencegah kemungkaran. Tapi mengapa banyak orang yang shalat tapi tetap melakukan kebohongan? Salah satu letak masalahnya adalah ketika manusia menjadikan ibadah sebagai ritual, bukan ruh dari kehidupan.
Psikologi Islami sebenarnya sedang mencari metode terbaik dalam “mengilmiahkan” perilaku manusia, yang tidak hanya dilihat dari perilaku secara kasat mata, tapi juga bagaimana membuat manusia lebih dekat kepada Tuhan melalui perilakunya itu. Dari definisi itu saja, paradigma Psikologi Islami jelas jauh berbeda dari Psikologi Barat. Saya berharap bahasan dalam Psikologi Islami di Indonesia tidak terjebak pada “mengukur kebaikan perilaku manusia” dari ritual ibadah semata (seperti salat, dzikir) atau terjebak pada bahasan normatif saja. Mungkin Psikologi Islami harus dikembangkan secara revolusioner, tidak harus mengacu pada pengembangan ilmu ala barat, karena ada banyak fenomena perilaku manusia terkait keberagamaan yang bersifat sangat khas dan individual. Ada banyak fenomena spiritual yang mengubah perilaku manusia dan tidak dapat dijelaskan oleh logika, tapi bisa dirasakan dengan hati. Jika masih berpijak pada metode ala barat, fenomena tersebut hampir mustahil dapat dijabarkan. Jadi, ada keharusan untuk merevolusi paradigma ilmu.
Nah, apakah Anda mulai melihat ke mana arahnya Psikologi Pribumi dan Psikologi Islami ini? Sebenarnya ada banyak kearifan lokal kebudayaan Indonesia yang menarik untuk dibahas dalam konteks psikologi. Seperti contoh yang tadi telah saya kemukakan, Anda mungkin bisa saja menganalisis kenakalan remaja di Makassar dengan “pisau” teori universal Storm and Stress dari G. Stanley Hall. Namun Anda tidak bisa melepaskan perilaku remaja tadi dari akar budaya setempat di mana mereka tinggal dan menghabiskan waktu bermainnya. Bisa saja pada suatu saat di masa depan, psikologi bak negara yang memiliki kekhasan sendiri di tiap-tiap wilayah. Ada Psikologi untuk wilayah Asia, Psikologi Amerika, Psikologi Eropa, Psikologi Australia, Psikologi Afrika, dan masih banyak lagi. Intinya, kita mempelajari psikologi agar lebih menghargai perbedaan perilaku yang menjadi KENISCAYAAN pada manusia. Bukan justru memaksakan orang lain agar mengikuti apa yang kita yakini sebagai sebuah kebenaran. Biarlah orang lain menemukan sendiri kebenaran bagi mereka, karena manusia adalah mahkluk paling unik dan paling misterius yang diciptakan oleh Sang Khalik. Biarlah dunia tersenyum melihat perbedaan yang ada di antara kita.

2 komentar: